Judul tulisan ini adalah pepatah Jawa yang sarat akan makna
tentang berperilaku didunia yang tak seberapa lama ini.
Aji ning diri saka lathi: artinya adalah harga diri
seseorang itu dapat dilihat dan dipercaya serta dihargai dari apa yang keluar dari
mulutnya. Karena kepribadian yang murni itu tergambar dalam ucapan dan tutur kata sebagai penampilan
mencerminkan "it's me". Pepatah ini menyangkut tentang betapa berarti
harga diri (bisa diartikan sifat, kelakuan) seseorang yang bisa dilihat dari cara
bicaranya. Lathi disini diartikan sebagai lidah. Seringkali seseorang mendapat
masalah besar karena lidahnya, bisa dari cara bicaranya yang ngawur atau
sembrono. Tapi tak jarang pula kita mendapat suatu kemudahan karena
menjaga lidah kita. Bagi orang jawa khususnya orang jogja atau solo misalnya hal ini bukanlah sulit atau aneh karena memang totokoromo yang demikian sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari didalam keluarga dan ditengah-tengah masyarakat.
Jika kita sering bicara kasar atau kotor maka dengan sendirinya orang lain akan
menganggap kita adalah orang yang cenderung negatif, karena ucapan gak jauh
dari isi kepalanya. (beda kalo ngomong kasarnya cuma sekali dalam 4 tahun
hihihihihi)
Pribahasa ini merupakan nasihat agar kita berhati-hati
terhadap kata dan kalimat yang kita ucapkan. Sepatah dua patah kata yang
meluncur dari lisan kita akan didengar dan diperhatikan oleh orang lain. Maka karenanya
setiap ucapan harus diiringi dengan pertimbangan yang matang, disertai dengan
pemikiran yang jernih, karena sesungguhnya kekuatan kepemimpinan ada dalam
integritas, ada dalam pengendalian diri, ada dalam kemampuan berpikir tentang
ide dan gagasan-gasan besar lalu mewujudkannya.
Apabila sesorang yang sering berbohong dan tidak konsisten dalam
berkata-kata, lama-kelamaan orang akan hilang kepercayaan. Siapapun yang suka
mengucapkan kata-kata pedas, kasar, menusuk hati, tentu akan sulit membangun
persahabatan dan orang demikian ini akan dianggap sebagai pribadi yang punya kecenderungan suka melukai perasaan orang lain.
Jadi sob… bisa dibayangkan bila kita adalah sorang pemimpin,
baik pemimpin di dalam keluarga apalagi pemimpin di tengah-tengah masyarakat
dan terutama pemimpin sebuah bangsa, yang “lathi”nya kerap bunyi semau gue yang menyinggung orang lain bahkan menyakiti orang lain.
Sebaliknya jika lidah kita dijaga dengan berbicara yang positif
dan sopan sebagaimana mestinya tentu akan membawa citra positif juga (bukan
berarti pencitraan juga yak).
Jadi sekali lagi bahwa lidah/ucapan akan sangat berpengaruh, terlebih lagi saat
hidup bermasyarakat (tidak termasuk hidup di hutan), sering kali cekcok antar tetangga terjadi karena lidah
yang tak bisa dijaga. Fitnah sana-sini, mengumpat tak tentu arah atau menggosip. Kenapa bisa sampe
segitu parahnya sih? Ya iya lah panjang terowongan bisa diukur, tapi kalau panjang
tenggorokan siapa yang tau, terlebih bagi yang pandai bersilat lidah, iya khan
sob..?
Ajining diri soko lathi dalam perkembangan jawa, lidah akan sangat menjadi tolak ukur seseorang dalam menilai orang lain. Unggah ungguh atau sopan santun dalam berbicara dalam budaya (jawa) adalah suatu hal wajib yang harus ditaati, baik tua maupun muda tanpa pandang bulu.
Ajining rogo soko busono: Secara kasat penampilan (appereance) itu mewakili diri kita. Mari kita tengok maaf gelandangan atau pengemis
dengan pakaian yang kumal, apa yang pertama kali kita pikirkan?
Lebih gampangnya, di sekolah, di kantor atau dimana aja kalo kita
ngeliat orang dengan pakaian yang gak disetrika atau lusuh pasti hal pertama
yang terlintas adalah malas "dih ngurus pakaian sendiri aja
malas apalagi ngurus yang lain" nah itulah contoh hal pertama yang ada
dipikiran orang saat melihat pakaian yang kurang rapi. Sebaliknya mari kita
mereviwe ingatan kita tentang penampilan seorang customer service sebuah bank
misalnya atau public relation sebuah perusahaan jasa besar, hmmmm anda pasti
langsung luluh dan bahkan “manut” dan tertaklukkan kan.... ketika dia menjelaskan
tentang aneka produk perusahaan dia?
Memang sih seseorang tak selamanya juga bisa dinilai cuma dari cara bicara dan
pakaiannya, terlebih ada banyak juga success story yang berpenampilan “acakadut”,
tapi gak ada salahnya untuk menjaga kerapian kita kan? Minimal untuk tidak
dikatan bahwa kita ini sudah miskin gagal tapi sombong hanya karena
berpenampilan semau gue tanpa melihat tempatnya.
Jadi mulailah menghargai diri sendiri dengan menjaga kerapian kita, sehingga dengan begitu dapat
mengirim energy positif bagi lawan bicara dan lingkungan sekitar yang melihat. Tak
perlu mewah untuk terlihat cantik dan gagah, hanya perlu rapi untuk menjadikan kita
seseorang yang elegan dan tak perlu pengawal untuk menjaga kita, selagi kita
masih bisa menjaga lisan kita.
Agama ageming ati: Dalam pengertian ini bukan apa yang tercantum di KTP,
melainkan lebih dari itu, yakni nilai-nilai yang mengatur sendi-sendi kehidupan
manusia. Karenanya agama sering disebut sebagai ageming ati. Jika kita muslim
maka sikap kita harus mencerminkan bahwa kita seorang muslim, dengan segalanya
yang menandakan bahwa memang benar kita seorang muslim.
Jangan sampai, kita pakai pakaian tapi tetap bertingkah laku
seperti orang telanjang, atau orang melihat kita tidak ada bedanya dengan
telanjang, atau kita dengan tanpa sadar bertingkah laku konyol sehingga
menelanjangi diri sendiri. Ageming ati dengan kata lain membuat perubahan yang
medasar terkait tingkah laku dan tindakan yang baik, sehingga kita dengan
sendirinya mempunyai wibawa dan kehormatan, marwah diri kita terjaga sehingga
tanpa harus dibuat-buat pun kemudian pihak lain akan menghormati kepribadian
kita dengan sendirinya.
NGONO LOH..SONTOLOYO!