Hal yang sangat menarik sesaat sebelum menjelang pesta demokrasi, kerap kita dengar mendadak berkembangnya wacana putra daerah. Akhir-akhir ini kata putra daerah semakin membumi dan menjadi (kan) nilai jual, bahkan diyakini menjadi salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin (daerah). Sehingga jangan heran lagi ketika seorang calon pemimpin politik menambahkan keterangan "putra daerah" pada setiap kampanyenya.
Melihat fenomena tersebut, diperlukan pemikiran, analisa, pengalaman serta referensi secara jernih khususnya dalam memaknai kalimat putra. Apakah yang dimaksud putra daerah adalah mereka yang lahir, berkependudukan dan hidup tumbuh besar di daerah yang...? Apakah putra daerah merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon pemimpin? Dan ataukah putra daerah adalah mereka yang memiliki hubungan biologis dengan masyarakat sekitar atau sekedar lahir di suatu daerah dan setelah itu, mereka pergi dan tidak pernah memberikan konstribusi terhadap daerah tersebut?
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) tidak terdapat arti dari kata putra daerah. Kata yang berdekatan ialah bumi putera yang memiliki arti anak negeri atau penduduk asli atau pribumi. Masih berdasarkan kamus tersebut jika kata putra daerah dibagi dua, yakni putra dan daerah, maka didapati arti putra yaitu anak laki-laki dan daerah yakni suatu tempat sekeliling atau yang termasuk di lingkungan suatu kota, wilayah, dll.
Sedangkan menurut webstern dictionary kata putra daerah lebih dekat kepada kata native (orang pribumi) yang artinya an origin in habitant (penduduk asli) or long life resident (penduduk tetap) atau existing in or belonging to one by nature (seseorang yang tinggal di daerah tersebut).
Berdasarkan defenisi diatas dalam teori Samuel P. Huntington, mendefenisikan putra daerah menjadi 4 jenis yang salah satunya adalah :
Putra Daerah daerah politik, yaitu putra daerah genealogis yang memiliki kaitan politik dengan daerah tersebut, bahkan Putra daerah politik terkadang hanyalah klaim diri dan melekatkan status sebagai putra daerah dan hanya memiliki hubungan biologis (orang tua atau keluarga berasal dari daerah yang dimaksud) dengan masyarakat sekitar namun tidak pernah memberikan konstribusi kepada daerah tersebut, Sering kita dapatkan seorang perantau yang telah sukses kembali kedaerah hanya karena kepentingan politik.
Putra daerah ekonomi, yaitu putra daerah genealogis yang karena kapasitas ekonominya kemudian memiliki kaitan dengan daerah asalnya melalui kegiatan investasi atau jaringan bisnis di daerah asalnya. Putra daerah ini terlintas hanya memiliki kepentingan pragmatis dengan daerah asalnya. Mereka menggunakan daerah hanya sebagai basis pemenuhan kepentingan politik dan ekonomi mereka sendiri. Namun sebaliknya daerah itu pun sedikit banyak memperoleh keuntungan politik dan ekonomi dari mereka.
Putra daerah sosiologis, yaitu mereka yang bukan saja memiliki keterkaitan genealogis dengan daerah tersebut tetapi juga hidup, tumbuh, dan besar serta berinteraksi dengan masyarakat daerah tersebut. Mereka menjadi bagian sosiologis dari daerah tersebut. Dan banyak memberikan konstribusi kepada masyarakat sekitar dan daerah serta melakukan keseharianya memiliki hubungan sosial dengan masyarakat sekitar.
Dari defenisi-defenisi di atas, jelaslah bahwa putra daerah tidak dapat didefenisikan secara sempit. Putra daerah tidak hanya dapat diartikan sebagai orang yang merupakan penduduk asli dari suatu daerah atau merupakan suku dari suatu daerah tersebut. Namun defenisi putra daerah mengandung makna yang luas tergantung dari obyek dan sudut pandang kita menilai. Selain itu, dalam suatu daerah tidak mungkin hanya terdapat satu macam suku atau pun ras tapi terdiri dari berbagai macam suku dari berbagai daerah yang datang dan menetap di daerah tersebut.
Inilah salah satu kekayaan budaya Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku.
Jika pemahaman-pemahaman tentang putra daerah ini terus dikembangkan maka akan memicu timbulnya semangat primordialisme atau rasa kesukuan yang berlebihan yang dapat mengancam keutuhan suatu daerah bahkan negara Republik Indonesia.
Jika pemahaman-pemahaman tentang putra daerah ini terus dikembangkan maka akan memicu timbulnya semangat primordialisme atau rasa kesukuan yang berlebihan yang dapat mengancam keutuhan suatu daerah bahkan negara Republik Indonesia.
Kembali ke pemilihan pemimpin politik daerah yang harus diutamakan ialah tentang kapabilitas dari calon-calon pemimpin tersebut. Suatu daerah tidak hanya dapat dipimpin oleh pemimpin yang bermodalkan figur semata namun tidak memiliki kapabilitas, integritas terlebih lagi sikap ketegasan dan pangalaman sebagai pemimpin.
Pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat yakni seseorang yang memiliki akseptabilitas saja namun juga ditunjang oleh moral yang baik serta public figure yang benar–benar telah teruji, memiliki kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing masyarakat dan juga memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas serta ketegasan yang sangat dibutuhkan di dunia perpolitikan, serta disisi lain juga masih harus ditambah memiliki wawasan yang luas dan pandangan yang luas dan mampu menjawab segalah permasalahan suatu daerah dan keluhan rakyat.
Berangkat dari beberapa defenisi putra daerah, bahwa terkadang adanya klaim status, yang melekatkan sebuah status dalam dirinya sebagai putra daerah sehingga menarik simpati masyarakat perlu analisa dan penerawangan yang tajam. Hak politik mencalonkan diri sebagai pimpinan politik daerah merupakan hak yang telah melekat pada setiap masyarakat, dan telah diatur dalam regulasi yang mengatur tentang pemilihan. Jadi yang perlu kita ketahui bersama klaim diri dengan melekatkan status sebagai bentuk sanderaan kepentingan politik (harus) perlu penafsiran dan pemaknaan yang jernih, beberapa fenomena yang telah terjadi akibat klaim diri demikian pada akhirnya berakibat sebagian masyarakat tertipu dan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.
Kita tidak membatasi hak Politik bagi mereka yang ingin bertarung dalam pesta demokrasi mendatang, Namun bercermin pada beberapa pengalam yang lalu perlu ada penalaran yang mesti kita hadirkan dari sekarang. Bahwa klaim diri sebagai putra daerah haruslah berdasarkan dengan defenisi dan sudut pandang yang telah disebutkan diatas (paling tidak) dan hal ini tidak terlepas dari "kepentingan dan kebutuhan" akan figur pemimpin yang ideal suatu daerah. Pemimpin yang mengetahui Geopolitik, Geografis dan Demografis serta keseharian suatu masyarakat dianggap ideal memimpin suatu daerah.
Jika suatu kepemimpinan diserahkan kepada yang tidak memiliki kapabilitas dan pengetahuan maka sesungguhnya kita sedang mempersiapkan kehancuran yang terencana akan daerah itu beserta tatanan soasial kemasyarakatannya.
Apakah masih kurang banyak contoh seorang yang menurut kita adalah asli putra daerah, namun ketika yang bersangkutan menduduki jabatan politik di daerahnya, hidupnya lalu berubah, jiwa sosial dan kemasyarakatannya berubah, seiring dengan rejekinya yang berubah, dia mulai membangun tembok sosial yang tinggi, sebagai pemisah antara dirinya dengan yang dia wakili, pintu rumahnya jadi tidak pernah lagi digedor-gedor, oleh mereka yang membutuhkan perhatian dan uluran tangan, hanya karena tembok yang begitu besar menjulang tinggi memisahkan si pemimpin dengan yang dia wakili?
“Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya”. ada yang bertanya, “bagaimana menyia-nyiakannya?” beliau menjawab, “jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” (HR. Bukhari).
Inilah keutamaan dalam mengajukan diri menjadi pemimpin sekaligus keutamaan dalam menentukan arah dukungan dalam memilih pemimpin. (*)