Tuesday, January 26, 2016

Daripada Pecah Dimulut Lebih Baik Pecah Diperut

Dahulu hingga sekarang, bagi saya adalah istilah untuk menggambarkan identitas, jati diri, komitmen, dedikasi dan loyalitas atas pertemanan serta kesetiakawanan yang saya kenal dan ketahui, juga pegang teguh dimasa-masa saya masih sekolah ditingkat SMA yang ketika itu lebih banyak bergaul di "jalanan" ketimbang duduk manis di rumah sebagai "anak mama".
Dahulu ketika masih suka nongkrong dan melakukan berbagai macam bentuk kenakalan remaja (bahkan terkadang kenakalan orang dewasa) saya memang lebih banyak berkumpul dengan berbagai macam pelaku pelanggar norma dan hukum, terkenang masa-masa itu disebuah ibu kota kabupaten, kota tua kecil, semuanya terasa menjadi begitu mudah dan gampang ada dalam genggaman. Dengan semangat partisipatif dan segala apa yang saya miliki dan tidak miliki saya begitu asyik karena diterima baik bahkan cukup mendapat perhatian dari kalangan tertentu dan terbatas ketika itu, dengan bermodalkan setiakawan, dalam beberapa kesempatan saya terlibat dalam berbagai perkelahian individu dan kelompok, mulai dari kelompok siswa, kelompok gank, kelompok preman dan copet sampai dengan kelompok..., manis sih untuk dikenang terlebih disaat seperti sekarang, karena semuanya itu pada akhirnya dititik tertentu menghantarkan saya pada sebuah perhentian untuk kemudian mengambil hikmah dan kesimpulan dan seterusnya jadilah saya menjadi bukan siapa-siapa sebagaimana pada hari ini, selain daripada diri sendiri.



Kembali kepada istilah  Daripada Pecah Dimulut Lebih Baik Pecah Diperut, kalimat ini ternyata sungguh ampuh mempengaruhi saya dalam menjaga berbagai hal dan macam rahasia juga kehormatan orang lain, sahabat, saudara, pimpinan dan orang disekitar bahkan termasuk tetangga, yang terkadang dengan sadar atau tidak, sengaja atau tidak, saya ketahui tentangnya atau sesuatunya. Apakah ini sama dengan diam adalah emas? Saya kira ini lebih dalam daripada sekedar diam adalah emas.
Akhir-akhir ini dalam banyak kesempatan, oleh dan dari berbagai kalangan, golongan dan profesi bahkan status sosial, komitmen atas hal tersebut diatas telah luntur dan sangat kurang memang, bahkan ada orang yang merasa bangga (terhormat juga) hanya karena (merasa) mengetahui sebuah rahasia tentang orang lain yang sebenarnya bagi orang tersebut hal yang dianggap rasahasia itu bukanlah sesuatu yang penting baginya (hanya secarik kertas kusut diantara lautan sampah di TPA/tempat pebuangan akhir), demikian halnya hidup dan kehidupannya, adalagi orang yang merasa bangga menjual/membeberkan rahasia orang lain kepada sesama, adalagi yang lebih parah bahwa dia sengaja mencari tahu (bahkan jika tidak tahupun berpura-pura tahu) dan menceritakannya kepada orang yang dianggap berkepentingan dengan harapan mendapatkan "imbalan" yang hanya sekedar sejumput rejeki dan setitik kehangatan dan kehormatan sesaat. hal ini juga berlaku diantara "sahabat dan teman". sampai kemudian muncul kalimat "tidak ada teman yang abadi, kecuali kepentingan yang abadi", atau "musuh terdekat adalah orang yang paling dekat".
Miris memang dengan hal yang demikian karena lambat laun dalam komunitas yang lebih besar kita akan menjadi rapuh dalam hal soliditas, akan menjadi sangat sulit untuk mendapatkan solidaritas.
Bahkan hal ini menjalar merasuk dalam kehidupan demokrasi kita (menjadi salah satu sumber kegaduhan dalam berbangsa dan bernegara kita [berhembusnya issue yang hanya berdasar pada "katanya" atau berhembusnya kebenaran bagaikan sebuah issue yang sengaja meluncur seolah-olah tanpa fakta]), Apakah ini berarti bahwa kemajuan informasi dan teknologi kekinian menjadi penyebab (salah satu), masalah ekonomi dan sosial yang begitu parahnya menjadi kita bagaikan binatang yang haus dan lapar bagi sesama, yang kesemuanya kemudian membuat degradasi moral dalam berbagai aspek yang benar-benar menggerus kepribadian kita dan menjauhkan kita dari nilai-nilai hidup yang tadinya begitu luhur??
Wallahu A'lam Bishawab

No comments:

Post a Comment