Saturday, February 20, 2016

Smakin Kita menJadi Manusia (!?)

dekadensi moral begitu kentara dan sangat terasa menyapa dan menyentuh kita semua dalam berbagai aspek kehidupan, kemajuan teknoligi informasi dapat membantu kita menemukan kebenaran yang sangat mengejutkan ini, berbagai macam peristiwa melalui berita yang di publish oleh banyak kalangan adalah tanda-tanda lain betapa mudahnya menemukan pembuktian atau minimal tanda-tanda bahwa hal tersebut benar ada dan sedang terus menggejala. kalo ada memey dengan foto pangeran Arab dan isterinya (gaya dan pola hidup) yang menggunakan busana ala dunia barat, dan sebaliknya ada memey yang memajang foto orang Indonesia yang menggunakan busana layaknya orang Arab yang hidup di padang pasir, maka aku pernah bikin komentar di bawah foto memey yang demikian "Arab hilang Arabnya jadi kebarat-baratan dan Indonesia hilang kenusantaraannya dan menjadi ke Arab-Araban".
Penurunan kualitas moral alias
Artinya bahwa kemajuan jaman, teknologi, informasi dan globalisasi ini bener-benar menjadi ancaman atas seluruh peradaban yang ada dimuka bumi ini, nah sekarang tidak usah bicara tentang dunia dan globalisasi, tetapi mari kita fokus pada diri kita, sekeliling kita, lingkungan keluarga dan rumah tangga kita, sekolah dimana anak kita setiap hari menimba ilmu, kumpulan para ibu-ibu muda yang setiap hari ada kegiatan ekstra selain nyambi ngantar n jemput little boy/girl nya sekolah dan kegiatan lainnya, sadarkah kita bahwa krisis yang sedang mengintai kita setiap saat menjadikan kita smakin jauh dari nilai-nilai budaya yang tadinya begitu luhur, yang tadinya menjadikan aku dan sahabat semua menjadi generasi-generasi yang tangguuh dan hebat dijaman sekarang?

Wednesday, February 17, 2016

Adil Sudah...?

Setiap saat, hari demi hari kita lalui, berbuat ataukah tidak berbuat, suka ataupun tidak, sejak dalam hati (timbulnya niat), kemudian dorongan untuk melakukan dan tidak (pikiran), kemudian perwujudan dari semua itu sebagai tindakan nyata; bahwa sesunguhnya disana ada satu hal penting yang mendasari kita; yakni ADIL. Sudahkah kita adil, kepada diri sendiri dan orang diluar diri kita? sudahkah kita diperlakukan secara adil oleh siapa saja? Sejujurnya bahwa jawaban atas kedua hal diatas itu adalah yang melandasi kita dalam bersikap, berpikir dan berbuat. Baik terhadap sesama, terhadap bangsa dalam kehidupan bernegara, terhadap perusahaan dalam profesi dan pekerjaan, terhadap pergaulan dan keluarga, lalu bagaimana dengan terhadap diri sendiri?
Sejujurnya bahwa kita kerap abai tentang keadilan yang sesunguhnya.
Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan hak kepada masing-masing yang memiliki hak. Demikian dalam pemahaman norma yang mendasari segala kehidupan ini, bahwa Tuhan telah memerintahkan kepada kita untuk berbuat adil dalam segala aspek kehidupan dan pada saat yang sama berbuat kebaikan dengan sesama.
Bahwa adil berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Hak asasi manusia tidaklah boleh dikurangi karena disebabkan adanya kewajiban atas mereka. Karenanya, hak setiap orang harus diberikan sebagaimana mestinya. Kebahagiaan barulah dirasakan oleh manusia bilamana hak-hak mereka dijamin dalam masyarakat, hak setiap orang dihargai, dan orang yang kuat punya kewajiban untuk mengayomi yang lemah.
Allah dalam rancangannya menetapkan keadilan sebagai dasar umum bagi kehidupan bermasyarakat untuk setiap bangsa dan pada semua masa, dan untuk setiap umat pada segala zaman. Keadilan merupakan tujuan pengutusan Rasul-Rasul utusan Allah (apakah ada rasul yang bukan utusan Allah?) ke dunia dan tujuan dari syariat dan hukum yang diturunkan bersama mereka tak lain adalah Keadilan, sebagaimana berikut saya kutipkan:

Wednesday, February 10, 2016

Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta

Ditengah maraknya praktik sebagaimana judul diatas, membaca puisi WS. Rendra ini serasa selalu seger, patriotik dan apa adanya sebagaimana realitas, kata pepatah "iki jaman edan lek ora edan ora kuman" adalah benar adanya, revolusi mental rasanya belum sampai pada merevolusi sistem "pelacuran" ibu kota sebagai pintu gerbang Indonesia, banyak cara orang melacurkan diri, dan banyak hal yang bisa dilacurkan memang sepanjang diinginkan, mulai dari harkat, martabat, harga diri, jual diri dan seterusnya....bagi yang belum pernah moggo disimak, menurut pengunggahnya bahwa suara yang ada adalah asli yang direkam dari pita casette, tetapi sayang tidak ada informasi lebih lanjut tentang itu, bagi yang sudah pernah monggo dipastikan kembali kata-demi kata, bait demi bait.....bahwa benar pelacuran itu sedang melanda kita semua......sekali lagi karena memang demikianlah kita, yang terkadang dalam banyak kesempatan jangankan lawan bahkan teman pun kita "makan" jangankan yang halal bahkan yang haram pun "terpaksa" kita embat, demi apa..? demi kita...? dan puisi yang lahir dari jiwa penciptanya adalah suara bumi....demikian kata mereka......


Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari kelas tinggi dan kelas rendah
diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban

Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban

Saturday, February 6, 2016

Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana


Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir
Aku harus bagaimana
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai
Kau ini bagaimana
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan
Aku harus bagaimana
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku
Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya
Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain
Kau ini bagaimana
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah
Aku harus bagaimana
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab
Kau ini bagaimana
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu
Kau ini bagaimana
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis
Aku harus bagaimana
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja
Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku
Kau ini bagaimana
Atau aku harus bagaimana


puisi ini masih dan akan terus berlaku sebagaimana kenyataan hidup kita dari generasi ke generasi, sepanjang jaman. Simaklah

Thursday, February 4, 2016

Sorga Ada Dibawah Telapak Kaki Ibu (2)

Judul diatas adalah benar adanya, tidak ada satupun diantara kita (insyallah) mengingkari hal tersebut, mengenai judul tulisan kali ini sudah ditegaskan sejak jamannya nabi-nabi, dan kita wajib mengimaninya dan mengaminkannya sekarang dan selamanya demikian.
Tetapi apakah seiring berjalannya waktu sikap, prilaku, dan ungkapan syukur kita selalu sejalan dengan semangat tersebut? hem... jawabnya yang paling fair adalah some time..., karena mungkin menurut anak muda sekarang some time itu gue geto lo......!
Lalu bagaimana halnya dengan Bapak kita,  Ayah kita, Papa kita? apakah kemudian dia akan berlalu begitu saja bersama waktu seiring dengan semakin kecilnya perannya dalam hari-hari kita karena kita telah tumbuh dan menjadi "dewasa"? dia lalu bisa kita abaikan begitu saja? dia lalu bisa kita nilai dan hakimi semaunya kita sendiri tanpa pernah mempertimbangkan situasi, keadaan dia disaat itu, disaat kita masih ngompol dan belum ngerti apa-apa lalu sekarang kita bersikap sakan-akan kitalah yang paling mengerti akan semua dan lain sebagainya disaat kita sudah seperti sekarang, hanya karena ketidak adilannya (menurut kita) diantara kita saudara ber saudara, diantara keluarga ber keluarga, kita marah kita dendam, kita menjadikannya enemy dalam hidup sekalipun cuma dibathin (karena takut malu jika diukapkan, sebab walau bagaimana menjadi pendemdam terlebih dendam terhadap keadaan dan orang yang "membuat" kita ada, sekalipun ini jamannya edan, tetapi untuk hal seperti itu malah dianggap orang edan), karena menurut kita dia adalah sosok yang keras atau bahkan menurut kita sering membuat kita malu diantara pergaulan yang kita miliki sekarang diantara orang-orang yang sukses?

Monday, February 1, 2016

Menghina Tuhan

Mengutip Sujiwo Tejo Presiden Tjancukers: “menghina Tuhan itu ngapain harus membakar kitabNya, khawatir besok tidak bisa makan juga sama dengan menghina Tuhan”. Benarkah? Sebagai orang yang beriman tentu kita punya kewajiban untuk mengatakan bahwa  Presiden ini benar adanya; bahwa selama ini kita memang benar-benar terlalu khawatir (banyak hal yang mebuat kita khawatir seolah-olah Tuhan tak pernah hadir dan ada), saking sibuknya khawatir sampai-sampai  entah sadar atau tidak setiap hari kita terjebak dalam kekhawatiran yang tidak berujung.
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemahaan Tuhan itu ternyata sering kali masih sebatas lips service semata, kita hanya ikut-ikutan sekedar untuk menunjukkan bahwa kita mempunyai keyakinan (seolah-olah) padahal sesungguhnya kita sangat tidak yakin. Yakin akan ke Esaan Tuhan dan ke Mahaannya tidak lantas membuat kita berpangku tangan dalam diam (pasrah bongkokan), karena jika demikian maka sama juga artinya bahwa kita sedang mengharap hujan turun dari atas langit disaat kemarau panjang dan langit terang benderang. Atau mungkin sama juga dengan bagaikan sipungguk merindukan bulan.