Wednesday, February 17, 2016

Adil Sudah...?

Setiap saat, hari demi hari kita lalui, berbuat ataukah tidak berbuat, suka ataupun tidak, sejak dalam hati (timbulnya niat), kemudian dorongan untuk melakukan dan tidak (pikiran), kemudian perwujudan dari semua itu sebagai tindakan nyata; bahwa sesunguhnya disana ada satu hal penting yang mendasari kita; yakni ADIL. Sudahkah kita adil, kepada diri sendiri dan orang diluar diri kita? sudahkah kita diperlakukan secara adil oleh siapa saja? Sejujurnya bahwa jawaban atas kedua hal diatas itu adalah yang melandasi kita dalam bersikap, berpikir dan berbuat. Baik terhadap sesama, terhadap bangsa dalam kehidupan bernegara, terhadap perusahaan dalam profesi dan pekerjaan, terhadap pergaulan dan keluarga, lalu bagaimana dengan terhadap diri sendiri?
Sejujurnya bahwa kita kerap abai tentang keadilan yang sesunguhnya.
Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan hak kepada masing-masing yang memiliki hak. Demikian dalam pemahaman norma yang mendasari segala kehidupan ini, bahwa Tuhan telah memerintahkan kepada kita untuk berbuat adil dalam segala aspek kehidupan dan pada saat yang sama berbuat kebaikan dengan sesama.
Bahwa adil berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Hak asasi manusia tidaklah boleh dikurangi karena disebabkan adanya kewajiban atas mereka. Karenanya, hak setiap orang harus diberikan sebagaimana mestinya. Kebahagiaan barulah dirasakan oleh manusia bilamana hak-hak mereka dijamin dalam masyarakat, hak setiap orang dihargai, dan orang yang kuat punya kewajiban untuk mengayomi yang lemah.
Allah dalam rancangannya menetapkan keadilan sebagai dasar umum bagi kehidupan bermasyarakat untuk setiap bangsa dan pada semua masa, dan untuk setiap umat pada segala zaman. Keadilan merupakan tujuan pengutusan Rasul-Rasul utusan Allah (apakah ada rasul yang bukan utusan Allah?) ke dunia dan tujuan dari syariat dan hukum yang diturunkan bersama mereka tak lain adalah Keadilan, sebagaimana berikut saya kutipkan:


“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan Rasul-rasul Nya. Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS Al-Hadid [57]: 25).
Dari kutipan diatas Islam memandang adil itu adalah sesuatu yang sangat penting dan mendasar, dan dari ayat ini pula kita dapat ketahui bahwa keadilan sebagaimana dimaksud bukanlah seuatu yang melayang-layang dan tidak terukur tetapi keadilan yang dimaksud di dalam Islam adalah keadilan yang senyata-nyatanya dan terukur, mempunyai parameter yang jelas dan pasti (neraca). dengan demikian Adil sebagaimana dimaksud adalah de fundamentele norm atau norma dasar.

Adil dalam sikap dan tindakan sesunguhnya menjadi tuntutan wajib bagi setiap orang diantara kita mahluk yang hidup, terelebih sebagai umat yang beragama (yang tidak beragama saja harus, apalagi yang beragama), sehingga tidaklah pada tempatnya bila tindakan kita yang terkadang berlebihan di landasi atas kebencian bahkan terhadap musuh sekalipun, apalagi jika itu bukan musuh, apalagi jika itu bukan orang lain, apalagi jika itu sahabat dan kerabat, apalagi jika itu orang atau anak buah; yang telah mengabdikan segalanya kepada kita.
Berikut saya kutipkan kisah seorang sahabat Nabi, yaitu Abdullah bin Rawahah saat diutus oleh Nabi menemui kaum Yahudi Khaibar setelah mereka takluk kepada Islam. Kala itu Rasulullah menetapkan hasil kebun-kebun kurma di Khaibar harus dibagi antara kaum Yahudi dengan kaum Muslim, dan  Abdullah bin Rawahah lah yang diutus untuk menaksir hasil panen yang akan diperoleh.  Setelah selesai menaksir, Abdullah bin Rawahah menyatakan di hadapan kaum Yahudi Khaibar, “Wahai kaum Yahudi! Kalian adalah makhluk yang paling aku benci. Kalian telah membunuh para Nabi dan mendustakan Allah. Akan tetapi, kebencianku kepada kalian tidaklah membuatku berbuat curang atas kalian. Sungguh aku telah menaksir, ternyata jumlahnya 20.000 wasaq kurma. Kalau kalian setuju silahkan, jika tidak maka kembali kepadaku,” dan saat itu kaum Yahudi menanggapinya,”dengan keadilan semacam inilah, langit dan bumi menjadi tegak.
Jadi sesunguhnya siapa sih sebenarnya kita ini, saya, anda sahabat semua, sehingga sering dalam kehidupan sehari-hari hanya karena sesuatu yang tidak dimiliki dan dimiliki orang lain, dengan gagah perkasa kita bicara lantang menuding kesegala arah dengan suara yang keras menggelegar dan dapat memacu andrenalin kita merasa telah patut dan telah berbuat adil? baik terhadap orang lain juga terhadap diri sendiri?

Pada akhirnya ada dua hal yang harus kita ketahui jika bicara tentang keadilan, yaitu Pertama: Adil dalam arti sama; Yaitu perlakuan yang sama atau tidak membedakan antara satu dengan lainnya; baik itu menyangkut persamaan hak perlindungan atas kekerasan, kesempatan dalam pendidikan peluang mendapatkan kekuasaan, memperoleh pendapatan dan kemakmuran. Juga persamaan dalam hak dan kedudukan dimuka hukum tanpa memandang ras, kelompok, kedudukan/ jabatan, kerabat, kaya atau miskin, orang yang disukai atau dibenci bahkan terhadap musuh sebesar apa sekalipun. Kedua: Adil dalam Arti Keseimbangan; Seimbang yang dimaksud tidak selalu sama antara dua pihak tersebut secara kuantitatif, tapi lebih kepada proporsional dan profesional,  disini, keadilan identik dengan pengertian kesesuaian, yakni kesesuaian antara ukuran, kadar dan waktu. Ia ditetapkan apabila memang "kondisi" (kondisi dimaksud tentunya terukur berdasarkan neraca/parameter yang jelas) menghendaki demikian. Adil dalam pengertian ini merupakan hakikat yang penting dalam keadilan. Namun keseimbangan bukan berarti kesamaan dalam memperoleh sesuatu, misalnya kesamaan dalam penghasilan. Tetapi jangan pula terjadi jurang pemisah yang sangat tajam dan tidak ada unsur pemerataan diantara sesama anak bangsa;
Kesempatan diberikan kepada semua orang dalam jumlah yang sama, namun apa yang diperolehnya sangat tergantung pada usaha yang dilakukan.

Dengan gambaran dasar diatas saya tidak paham apakah kita masih dan akan terus mau memperdebatkan Adil, karena secara epistimologi sekalipun jelas bahwa Adil sebagaimana dimaksud dan dicita-citakan adalah sesuatu yang walau terkadang pragmatis tetapi nyata didalam rasa (terukur berdasarkan neraca), sekalipun adil itu menurut defenisi banyak orang bahwa adil adalah ketidak adilan itu sendiri, namun argumentasinya haruslah ada sebagai sebuah landasan berpikir yang logis dan terukur (selama tidak itu namanya pasti bukan Adil, mungkin zahenab binti parlan). dan beruntung kita sebagaimana Allah mewahyukan Adil, demikian di dalam seluruh kehidupan bernegara bermasyarakat menjadi landasan sekaligus tujuan; sebab jika tidak maka seluruh tatanan nilai dan peradaban ini bisa dipastikan akan segera berakhir, sebaliknya dengan Adil membuat kita tak pernah mengenal lelah dan berhenti dalam seluruh aspek kehidupan memperjuangkannya, mendapatkannya (termasuk melakukannya), artinya bahwa sebagai norma dasar Adil adalah tujuan tertinggi di dunia yang harus bagi, kepada dan terhadap siapa saja, walau kita tahu bahwa Adil itu adalah sesuatu yang nyaris tak mungkin (oleh sebab Adil adalah salah satu sifat ke Mahaannya Tuhan, sementara kita hanya dititipi potensi nya saja [potensi untuk berbuat/tidak berbuat Adil dan tidak adil]), tetapi minimal dengan ketulusan, keihlasan, dan keutamaan kita bisa lebih mendekatkan jarak kesenjangan antara dunia nyata dan dunia harapan atau antara yang ada dan yang seharusnya ada (das sein dan das sollen) dengan cara satunya kata dan perbuatan.


No comments:

Post a Comment